Monday, May 27, 2013

cerpen

Belanja Bulanan


            Malam ini penuh bintang.. bintang yang bertebaran ramai seperti orang-orang di sekitar mall ini… Ya… seorang wanita tengah sibuk mendorong trolley penuh berisi belanjaan. Barang-barang yang selalu rutin ia beli setiap bulannya untuk keluarga mereka. Belanja bulanan.. suatu agenda rutin yang masuk dalam daftar rencana keuangan keluarga ini. Sang wanita  mendorong trolley-nya dengan tertatih-tatih karena isinya begitu penuh…. Ada susu dan pampers milik si bayi…ada minyak goreng, beras, gula, tepung dan lain-lain keperluan dapur…ada juga perlengkapan kamar mandi.. semua tak ketinggalan… Alhamdulillah.. gumamnya dalam hati.

Tak berapa lama menunggu di lobby mall.. sebuah mobil keluaran Toyota sport terbaru berhenti di depannya, sang pengemudi yang tak lain adalah suami tercinta menata barang-barang di bagasi mobil mereka… Ketika sedang membantu suaminya mata sang wanita tertuju pada pasangan yang juga tengah sibuk menata barang belanjaan mereka.. bukan dalam bagasi mobil.. tapi dalam sebuah kantung yang terbuat dari karung ghoni yang diletakkan di atas motor mereka.. sementara pasangannya menggendong buah hatinya… tidak terlihat keluhan diwajah mereka.. bahkan mereka terlihat tersenyum indah…

ehmmm…”bunda.. sudah siap semuanya ayoo masuk mobil..” suara sang ..suami membuyarkan pandangannya dari pasangan tadi….dan akhirnya mobil pun melaju menuju jalan raya yang sesak dengan kendaraan… potret biasa dalam lalu lintas ibu kota.. padat dan macet.

Didalam mobilnya yang nyaman sang wanita kembali meneruskan lamunannya… ingatannya berputar menuju sepuluh tahun silam.. saat ia dan suaminya baru berumahtangga.. mereka hidup sederhana.. sang suami hanya memiliki sepeda motor keluaran tahun 80-an…sepeda motor yang begitu setia menemani keluarga ini.. bahkan untuk rutinitas belanja bulanan seperti saat ini.. ehmm. ..tidak heran kejadian pasangan tadi begitu mengingatkannya akan memory ini…

Sang suami begitu bangga dengan ‘si merah’ panggilan untuk motor pertamanya yang ia beli dari keringatnya sendiri..motor bekas memang tapi masih cukup bagus..setelah berkeluarga ia membelikan box bagasi motor untuk menyimpan barang-barang yang tidak bisa dibawa hanya dengan menggunakan ranselnya..dengan semangat ia keluarkan belanjaan dari kantong plastik untuk disusun dalam box bagasi motor kami… subhanallah.. indah karena melihat senyumnya.. bukan malu atau rendah diri .. pernah suatu saat ketika sedang menyusun barang kami bertemu dengan kawan yang sudah bermobil.. tak segan ia lambaikan tangannya sambil tersenyum… dan si wanita pun juga ikut tersenyum semangat karena melihat suaminya.. ia menjadi tidak malu dan rendah diri karena hanya memiliki motor tua itu…malahan mereka berdua berdoa semoga Allah memberikan keberkahan rezeki kepada mereka. Dan subhanallah Allah mendengar doa dan memberkahi usaha mereka dalam mencari rezekiNYA..mereka dapat menikmati kemudahan berbelanja dengan kendaraan beroda empat.

            Kawan.. sudahkah kita ikhlas dengan rezeki yang kita miliki sekarang? Seperti pasangan itu…sang istri redho akan harta yang dimilki suaminya.. maka Allah tambah nikmat mereka..atau sebaliknya malu dengan kawan kita karena suami tidak bisa memberikan apa yang mereka punya..apapun itu walau hanya sepeda motor, mobil tua atau hanya dapat naik angkutan umum saja… bersyukurlah  karena rezeki yang HALAL yang diberikan Allah untuk kita adalah yang paling diperlukan untuk menuju Jannah NYA..Jangan bebani dia dengan harta orang lain… beri semangat dan dukungan untuk menggali segenggam mutiara yang mungkin masih tersimpan…wallahua’alm bi showwab

Suatu sore di Bangi.. sebuah perenungan..




cerpen

Sekeping Cinta Tarbiyah....

Daun pohon beringin mulai berguguran satu persatu. Ya, pohon beringin itu adalah tempat mangkal favorit  sebagian besar mahasiswa fakultas kampusku. Dan.. akupun terduduk lesu dibawahnya, tak kuperdulikan banyaknya daun yang berada diatas jilbab yang ku kenakan.  Hatiku risau, galau, pandanganku kosong... duhai Robbi tolonglah aku.
Kejadian lima menit yang lalu membuat aku tak mampu lagi tersenyum apalagi menangis. Lima menit yang lalu aku bagai tersambar lesatan halilintar dengan kekuatan ribuan volt, hatiku nyaris beku, dan jantung ini protes melakukan tugasnya untuk berdetak. Sebuah pesan singkat membuat puzzle hati ini runtuh satu per satu.
            “ukhti... ana kirimkan biodata ana untuk diserahkan pada murobiah ukhti.... Dari: ana yang alfa”. Meski dalam SMS tidak ditulis siapa pengirimnya, namun nomor yang tertera telah menggambarkan siapa pengirimnya. Nomor itu banyak dijumpai di koridor kampus. Siapa yang tak kenal dengan orang nomor wahid di kampus ini. Eko, ketua BEM kampusku, mahasiswa dengan segudang prestasi. Mahasiswa yang punya bimbel sendiri sejak SMA. Mahasiswa incaran gadis-gadis, dan di setiap sudut namanya selalu jadi pembicaraan hangat.
Untuk sebagian orang mungkin bunyi SMS itu bukanlah hal yang luar biasa. Aku sendiri tak sadar apa maksudnya, sampai lima menit yang lalu Riana, akhwat kaderisasi di kampusku menjelaskan maksud si ketua BEM. Ya.. sodara-sodara beliau bermaksud melakukan proses ta’aruf denganku...
            Ya Robbi... inikah jawaban doa-doaku setelah kejadian 1 tahun silam. Aku memang ingin menikah, sangat ingin bahkan...,kesulitan ekonomi membuat aku menjadi seorang gadis yang kehilangan masa indah seorang akhwat kampus. Kehidupanku diisi hanya dengan belajar dikampus pada siang hari, bekerja dari sore hingga malam, dan mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk di tengah malam. Aku tak memiliki waktu untuk bermain apalagi berorganisasi. Dengan menikah aku berharap dapat mengurangi beban hidupku.
Hatiku yang awalnya seterang lampu neon light disiang hari, dan semekar bunga sakura di musim semi, tiba-tiba menjadi redup. Prosedur pernikahan yang akan kujalani, membuat aku menjadi pesimis akan asa yang membuncah didada. Prosedur melapor murobbiah adalah hal yang pernah membuat harapanku musnah.
            Kejadian satu tahun silam mungkin akan terulang kembali. Mbak shaliha, beliau adalah murobbiku, menghalang habis-habisan proses ta’arufku dengan seseorang. Alasannya tak begitu ku fahami. Murobbiah yang satu ini memang sangat berkesan bagiku, dialah orang yang berjasa sampai kondisiku menjadi seperti sekarang. Orang yang memperkenalkanku menggunakan pakaian syar’i ini, mengetahui indahnya berdakwah, dan membawaku merasakan nikmatnya ukhuwah. Telah 5 tahun aku bersamanya, sejak kelas 3 SMP hingga dibangku kuliah. Segala kesulitan dan himpitan beban hidup telah diketahuinya dari A sampai Z. Ya.. termasuk keinginanku untuk segera menikah. Tapi mengapa disaat ada seorang ikhwan muncul untuk menjadi ‘hero’ di kehidupanku, disaat aku berusaha menjalani dengan proses yang seharusnya. Sang ‘mbak’ malah memintaku berhenti meneruskan proses itu. Demi ketsiqohanku padanya, aku mengikuti keputusannya. Walaupun beliau menyatakan alasannya bahwa si ‘ikhwan’ bukanlah orang yang tepat untukku saat itu.
Segera kupendam asa itu dalam-dalam sampai saat ini. Ya.. saat dimana proses yang kedua muncul sekarang. Aku tidak berani untuk meneruskan email Eko padanya, aku takut, aku tak sanggup jika ‘mbak’ku sayang kembali menolak calon yang ku ajukan. Aku list segala kemungkinan alasan ‘mbak’ku untuk menolaknya. Hubungan ku dengan Eko tidaklah terlalu sering. Kami hanya bertemu jika menjadi delegasi olimpiade bahasa Inggris setiap tahunnya. Aku memang tak punya waktu untuk berkumpul dan berorganisasi diluar kegiatan pembelajaran. Mengingat aku baru semester 3, maka, seingatku berjumpa dengannya secara langsung adalah 2 kali saja. Sejak semester 1 aku memang dipilih oleh pihak kampus untuk mewakili olimpiade english antar mahasiswa se Indonesia, dan Eko sebagai ketua BEM harus mendampingi para peserta. Tidak ada yang istimewa dari pertemuan-pertemuan itu, kecuali adalah hubungan ketua dengan anggotanya.
Duhai Robbi... Apa yang harus aku lakukan. Aku ingin sekali menikah.. tapi aku juga tak sanggup untuk menyerahkan biodata itu kepada murrobiahku. Aku takut.. takut beliau memintaku untuk menghentikan proses ini. Takut beliau tidak menyetujuinya lagi. Aku seperti jagoan yang kalah sebelum berperang. Aku trauma menerima kegagalan.. sementara aku ingin..ingin sekali untuk menikah.
Sujud panjang menjadi penemanku di malam-malam penantian. Sujud Qiyamullail yang selalu engkau ingatkan padaku wahai murrrobiahku. Sujud Istikharah yang selalu engkau ajarkan pada ku saat menentukan pilihan. Ku pandangi atachment biodata Eko di email komputerku, namun aku tak berani membukanya. ‘amanah’ file itu untuk dirimu. bukan untukku, aku tak berani membacanya. Hampir saja aku menekan tombol ‘send’ ke emailmu. Namun keraguan itu datang kembali. Kuurungkan niatku... aku tak sanggup mbak. Entah mengapa ada segudang energi besar yang meminta raga ini untuk mengambil keputusan menemui mu esok. Ya.. tekadku telah bulat, aku akan datang kerumahmu esok.
Satu persatu ku susun puzle keberanianku. Ya.. aku telah sampai didepan pintu rumahmu, belum lagi kuketuk pintu itu, aku mendengar tangismu dari dalam rumah. Suara tangis yang begitu kuhafal keluar dari mulutmu, sebab tangis itu amat akrab di malam-malam qiyamulail bersama kita ketika mabit. Engkau menangis duhai murrobiahku... ada apa...?
Hampir saja kuurungkan niatku memasuki rumahmu, sampai aku dengar suara ibumu memarahi mu dan mengumpat dengan suara yang tak begitu jelas. Ada apa murrobiahku sayang?... apa yang harus aku lakukan?. Aku masih berdiri mematung di depan pintu rumahmu. Aku merasa seperti anak kecil yang tersasar didepan rumah orang asing. Anak yang tak tahu jalan pulang. Sampai aku mendengar suaramu.. dengan parau engkau mengatakan “Ibu... Liha mohon ampun jika Shaliha sampai saat ini belum bisa memberikan ibu keturunan... Liha juga ingin seperti orang lain yang segera menikah... namun Allah belum memberikan Liha keputusan jodoh sampai hari ini... jangan ibu salahkan kerudung Liha, aktivitas tarbiyah Liha.. Liha juga tengah menanti bu.. menanti jodoh di ujung usia Liha yang ke -37 ini..”
Jjderrrrr.... Bagai disambar petir di siang bolong ketika mendengar kata-katanya... Duhai Robbi.. ampuni hamba. Aku, Raisya Hana, seorang mutarobbi yang amat merasa bersalah pada hari itu. Aku lupa, akan usia ‘mbak’ku . Aku egois. Aku hanya mementingkan diriku sendiri, aku telah membiarkan hati ini kotor dengan berprasangka buruk padanya atas kegagalan prosesku. Bahkan memprediksi kegagalan proses berikutnya.
Mbak... di usiamu yang sekarang engkau lebih memerlukan jodoh untukmu. Engkau lebih lama menanti berbanding aku. Lalu.. pantaskah aku, seorang anak yang bau kencur ini, memintamu untuk menyetujui jodohku tanpa memikirkan perasaanmu. Dunia tarbiyah menempamu menjadi seorang akhwat yang kuat, yang tak pernah mengeluh mengenai takdir yang satu itu. Usia 37 tahun adalah usia yang lama dalam penantian panjang itu. Maafkan aku ‘mbak’ku sayang.. aku terlupa. Aku hanya merasa akulah orang yang paling memerlukan jodoh saat ini, maaf sekali lagi sayang. Aku hanya memintamu untuk terus menerima keluh kesahku tentang kesulitan hidupku bahkan entah berapa kali keinginanku untuk menikah selalu aku lontarkan kepadamu. Entah apa yang ada dibenakmu saat itu, saat cerita-cerita indah ku menerima biodata itu dan meminta persetujuanmu. Ku yakin engkau tengah menata hatimu, engkau kerahkan seluruh energimu untuk tersenyum dihadapanku sambil berkata “baiklah Raisya, akan mbak uruskan semuanya”.
Tak terasa air mata ini mengalir deras jika mengingatnya, mengingat ketegaranmu di depan kami. Yang amat peduli dengan kami disaat kami tidak mau peduli terhadapmu. Tarbiyah yang membuat engkau kokoh duhai ‘mbak’ku sayang. Mbak shaliha ternyata engkau lebih memerlukan jodoh itu berbanding aku... berputar memoriku saat setiap kali aku ingin berpisah denganmu dan aku selalu meminta doa mu “ mbak.. aku ingin menikah. Doakan Raisya ya..”. Aku lunglai tak berdaya dihalaman rumahmu...


Bangi, Malaysia, Juli 2012