Sekeping
Cinta Tarbiyah....
Daun
pohon beringin mulai berguguran satu persatu. Ya, pohon beringin itu adalah
tempat mangkal favorit sebagian besar
mahasiswa fakultas kampusku. Dan.. akupun terduduk lesu dibawahnya, tak
kuperdulikan banyaknya daun yang berada diatas jilbab yang ku kenakan. Hatiku risau, galau, pandanganku kosong...
duhai Robbi tolonglah aku.
Kejadian
lima menit yang lalu membuat aku tak mampu lagi tersenyum apalagi menangis.
Lima menit yang lalu aku bagai tersambar lesatan halilintar dengan kekuatan
ribuan volt, hatiku nyaris beku, dan jantung ini protes melakukan tugasnya
untuk berdetak. Sebuah pesan singkat membuat puzzle hati ini runtuh satu per
satu.
“ukhti...
ana kirimkan biodata ana untuk diserahkan pada murobiah ukhti.... Dari: ana
yang alfa”. Meski dalam SMS tidak ditulis siapa pengirimnya, namun nomor
yang tertera telah menggambarkan siapa pengirimnya. Nomor itu banyak dijumpai
di koridor kampus. Siapa yang tak kenal dengan orang nomor wahid di kampus ini.
Eko, ketua BEM kampusku, mahasiswa dengan segudang prestasi. Mahasiswa yang
punya bimbel sendiri sejak SMA. Mahasiswa incaran gadis-gadis, dan di setiap
sudut namanya selalu jadi pembicaraan hangat.
Untuk
sebagian orang mungkin bunyi SMS itu bukanlah hal yang luar biasa. Aku sendiri
tak sadar apa maksudnya, sampai lima menit yang lalu Riana, akhwat kaderisasi
di kampusku menjelaskan maksud si ketua BEM. Ya.. sodara-sodara beliau
bermaksud melakukan proses ta’aruf denganku...
Ya Robbi... inikah jawaban doa-doaku
setelah kejadian 1 tahun silam. Aku memang ingin menikah, sangat ingin
bahkan...,kesulitan ekonomi membuat aku menjadi seorang gadis yang kehilangan
masa indah seorang akhwat kampus. Kehidupanku diisi hanya dengan belajar dikampus
pada siang hari, bekerja dari sore hingga malam, dan mengerjakan tugas kuliah
yang menumpuk di tengah malam. Aku tak memiliki waktu untuk bermain apalagi
berorganisasi. Dengan menikah aku berharap dapat mengurangi beban hidupku.
Hatiku
yang awalnya seterang lampu neon light disiang hari, dan semekar bunga sakura
di musim semi, tiba-tiba menjadi redup. Prosedur pernikahan yang akan kujalani,
membuat aku menjadi pesimis akan asa yang membuncah didada. Prosedur melapor
murobbiah adalah hal yang pernah membuat harapanku musnah.
Kejadian satu tahun silam mungkin
akan terulang kembali. Mbak shaliha, beliau adalah murobbiku, menghalang
habis-habisan proses ta’arufku dengan seseorang. Alasannya tak begitu ku
fahami. Murobbiah yang satu ini memang sangat berkesan bagiku, dialah orang
yang berjasa sampai kondisiku menjadi seperti sekarang. Orang yang
memperkenalkanku menggunakan pakaian syar’i ini, mengetahui indahnya berdakwah,
dan membawaku merasakan nikmatnya ukhuwah. Telah 5 tahun aku bersamanya, sejak
kelas 3 SMP hingga dibangku kuliah. Segala kesulitan dan himpitan beban hidup
telah diketahuinya dari A sampai Z. Ya.. termasuk keinginanku untuk segera
menikah. Tapi mengapa disaat ada seorang ikhwan muncul untuk menjadi ‘hero’ di kehidupanku,
disaat aku berusaha menjalani dengan proses yang seharusnya. Sang ‘mbak’ malah
memintaku berhenti meneruskan proses itu. Demi ketsiqohanku padanya, aku
mengikuti keputusannya. Walaupun beliau menyatakan alasannya bahwa si ‘ikhwan’
bukanlah orang yang tepat untukku saat itu.
Segera
kupendam asa itu dalam-dalam sampai saat ini. Ya.. saat dimana proses yang
kedua muncul sekarang. Aku tidak berani untuk meneruskan email Eko padanya, aku
takut, aku tak sanggup jika ‘mbak’ku sayang kembali menolak calon yang ku
ajukan. Aku list segala kemungkinan alasan ‘mbak’ku untuk menolaknya. Hubungan
ku dengan Eko tidaklah terlalu sering. Kami hanya bertemu jika menjadi delegasi
olimpiade bahasa Inggris setiap tahunnya. Aku memang tak punya waktu untuk
berkumpul dan berorganisasi diluar kegiatan pembelajaran. Mengingat aku baru
semester 3, maka, seingatku berjumpa dengannya secara langsung adalah 2 kali
saja. Sejak semester 1 aku memang dipilih oleh pihak kampus untuk mewakili
olimpiade english antar mahasiswa se Indonesia, dan Eko sebagai ketua BEM harus
mendampingi para peserta. Tidak ada yang istimewa dari pertemuan-pertemuan itu,
kecuali adalah hubungan ketua dengan anggotanya.
Duhai
Robbi... Apa yang harus aku lakukan. Aku ingin sekali menikah.. tapi aku juga
tak sanggup untuk menyerahkan biodata itu kepada murrobiahku. Aku takut.. takut
beliau memintaku untuk menghentikan proses ini. Takut beliau tidak
menyetujuinya lagi. Aku seperti jagoan yang kalah sebelum berperang. Aku trauma
menerima kegagalan.. sementara aku ingin..ingin sekali untuk menikah.
Sujud
panjang menjadi penemanku di malam-malam penantian. Sujud Qiyamullail yang
selalu engkau ingatkan padaku wahai murrrobiahku. Sujud Istikharah yang selalu
engkau ajarkan pada ku saat menentukan pilihan. Ku pandangi atachment biodata Eko di email
komputerku, namun aku tak berani membukanya. ‘amanah’ file itu untuk dirimu.
bukan untukku, aku tak berani membacanya. Hampir saja aku menekan tombol ‘send’
ke emailmu. Namun keraguan itu datang kembali. Kuurungkan niatku... aku tak
sanggup mbak. Entah mengapa ada segudang energi besar yang meminta raga ini
untuk mengambil keputusan menemui mu esok. Ya.. tekadku telah bulat, aku akan
datang kerumahmu esok.
Satu
persatu ku susun puzle keberanianku. Ya.. aku telah sampai didepan pintu
rumahmu, belum lagi kuketuk pintu itu, aku mendengar tangismu dari dalam rumah.
Suara tangis yang begitu kuhafal keluar dari mulutmu, sebab tangis itu amat
akrab di malam-malam qiyamulail bersama kita ketika mabit. Engkau menangis
duhai murrobiahku... ada apa...?
Hampir
saja kuurungkan niatku memasuki rumahmu, sampai aku dengar suara ibumu memarahi
mu dan mengumpat dengan suara yang tak begitu jelas. Ada apa murrobiahku
sayang?... apa yang harus aku lakukan?. Aku masih berdiri mematung di depan
pintu rumahmu. Aku merasa seperti anak kecil yang tersasar didepan rumah orang
asing. Anak yang tak tahu jalan pulang. Sampai aku mendengar suaramu.. dengan
parau engkau mengatakan “Ibu... Liha mohon ampun jika Shaliha sampai saat ini
belum bisa memberikan ibu keturunan... Liha juga ingin seperti orang lain yang
segera menikah... namun Allah belum memberikan Liha keputusan jodoh sampai hari
ini... jangan ibu salahkan kerudung Liha, aktivitas tarbiyah Liha.. Liha juga
tengah menanti bu.. menanti jodoh di ujung usia Liha yang ke -37 ini..”
Jjderrrrr....
Bagai disambar petir di siang bolong ketika mendengar kata-katanya... Duhai
Robbi.. ampuni hamba. Aku, Raisya Hana, seorang mutarobbi yang amat merasa
bersalah pada hari itu. Aku lupa, akan usia ‘mbak’ku . Aku egois. Aku hanya
mementingkan diriku sendiri, aku telah membiarkan hati ini kotor dengan
berprasangka buruk padanya atas kegagalan prosesku. Bahkan memprediksi
kegagalan proses berikutnya.
Mbak...
di usiamu yang sekarang engkau lebih memerlukan jodoh untukmu. Engkau lebih
lama menanti berbanding aku. Lalu.. pantaskah aku, seorang anak yang bau kencur
ini, memintamu untuk menyetujui jodohku tanpa memikirkan perasaanmu. Dunia
tarbiyah menempamu menjadi seorang akhwat yang kuat, yang tak pernah mengeluh
mengenai takdir yang satu itu. Usia 37 tahun adalah usia yang lama dalam
penantian panjang itu. Maafkan aku ‘mbak’ku sayang.. aku terlupa. Aku hanya
merasa akulah orang yang paling memerlukan jodoh saat ini, maaf sekali lagi
sayang. Aku hanya memintamu untuk terus menerima keluh kesahku tentang
kesulitan hidupku bahkan entah berapa kali keinginanku untuk menikah selalu aku
lontarkan kepadamu. Entah apa yang ada dibenakmu saat itu, saat cerita-cerita indah
ku menerima biodata itu dan meminta persetujuanmu. Ku yakin engkau tengah
menata hatimu, engkau kerahkan seluruh energimu untuk tersenyum dihadapanku
sambil berkata “baiklah Raisya, akan mbak uruskan semuanya”.
Tak
terasa air mata ini mengalir deras jika mengingatnya, mengingat ketegaranmu di
depan kami. Yang amat peduli dengan kami disaat kami tidak mau peduli
terhadapmu. Tarbiyah yang membuat engkau kokoh duhai ‘mbak’ku sayang. Mbak
shaliha ternyata engkau lebih memerlukan jodoh itu berbanding aku... berputar
memoriku saat setiap kali aku ingin berpisah denganmu dan aku selalu meminta doa
mu “ mbak.. aku ingin menikah. Doakan Raisya ya..”. Aku lunglai tak berdaya
dihalaman rumahmu...
Bangi,
Malaysia, Juli 2012
No comments:
Post a Comment